ULASAN KURATORIAL:
Di dunia yang serba digital ini, kamera bukan lagi alat dokumentasi—ia menjadi cermin baru. Pelukis master terkenal Heno Airlangga lewat lukisan ini menyajikan potret hiper-modern dari seorang perempuan yang begitu lekat dengan simbol status: kebaya modis, tas bermerek, perhiasan berkilau, dan tentu saja—ponsel pintar dengan kamera yang lebih canggih dari teleskop Hubble.
Dengan gaya caricature realism, Heno menyoroti fenomena “pencarian validasi” yang diam-diam jadi ritual harian banyak orang. Pose manyun (a.k.a duckface), mata mengedip, dan jari penuh cincin memegang ponsel seolah sedang berkata, “Aku eksis, maka aku di-like.”
Dalam lukisan “Berburu Validasi”, Heno Airlangga menangkap zeitgeist masyarakat urban masa kini—dunia di mana eksistensi sering kali diukur dari jumlah likes, bukan kualitas hidup. Sosok perempuan dalam lukisan ini bukan sekadar karakter; ia adalah cerminan budaya yang tengah candu pada pencitraan dan validasi digital.
Berbalut kebaya modern berwarna marun—yang dalam konteks visualnya menjadi simbol antara nilai tradisi dan konsumerisme kontemporer—tokoh ini memegang ponsel pintar dengan gaya percaya diri, bibir monyong siap untuk selfie, dan pose tangan khas selebgram yang sudah hafal pose OOTD dari berbagai sudut. Ia dilengkapi dengan simbol-simbol kemewahan: perhiasan emas menjuntai, tas Chanel menggantung di lengan, dan riasan yang sempurna hingga bisa membuat kamera depan mengaburkan latar belakang saking fokusnya pada dirinya.
Namun justru di sinilah letak satire yang tajam dari Heno:
di balik kepercayaan diri yang ditampilkan, tersimpan kegelisahan yang besar.
Perempuan ini tidak sedang berkomunikasi, melainkan sedang memamerkan; bukan sedang hadir, tapi sedang mengumpulkan sorotan. Kamera menjadi mata ketiga yang harus terus menyaksikan agar keberadaannya dianggap sah. Ia tidak berdandan untuk acara adat atau momen istimewa, tetapi untuk konten. Inilah potret generasi yang lebih hafal filter TikTok daripada falsafah hidup.
Karya ini tidak hanya lucu atau menggemaskan secara visual—dengan proporsi tubuh yang chibi-esque dan ekspresi hiperbolik—tetapi juga menyimpan kritik sosial mendalam. Heno tidak menghakimi, namun mengajak kita bercermin. Apakah kita sedang hidup, atau hanya sedang mempersiapkan highlight reel?
Kontras Nilai: Tradisi vs Eksistensi Virtual
Detail kebaya dan bunga kamboja di rambut menunjukkan keterikatan dengan identitas lokal, namun semua itu ditumpangi oleh hasrat digital. Ini menciptakan kontras menarik antara akar budaya dan “branding diri” ala media sosial. Tradisi seolah hanya menjadi dekorasi estetis untuk feed Instagram, bukan sesuatu yang dijalani dengan makna.
“Aku Ada, Karena Aku Di-Like”
Mungkin René Descartes harus direvisi. “Cogito ergo sum” (Aku berpikir maka aku ada), kini berubah menjadi “Posting ergo sum”. Validasi eksternal menjadi penentu nilai diri. Dan itu, meski lucu, adalah sesuatu yang tragis jika direnungi lebih dalam.
CATATAN KURATOR:
“Berburu Validasi” adalah pengingat jenaka bahwa dalam dunia yang semakin bising, mungkin yang kita butuhkan bukan kamera yang lebih tajam, tapi kesadaran yang lebih jernih.
Karena pada akhirnya, siapa kita ketika tak ada satu pun yang melihat?
Lukisan stok tersedia, lukisan berkualitas karya seni tinggi pelukis master terkenal Heno Airlangga, lukisan dilengkapi sertifikat keaslian lukisan bertanda tangan pelukis langsung, JAVADESINDO Art Gallery melayani pemesanan dan pengiriman lukisan ke seluruh Indonesia, gratis ongkos kirim.
Email: javadesindo@gmail.com
Tep-Whatsapp: 081329732911