Lukisan bertema tentang sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa,
dilukis diatas canvas dalam sebuah karya seni tinggi oleh pelukis profesional
Heno Airlangga, melukiskan salah satu sudut pelabuhan Sunda Kelapa pada Tahun
1836, lukisan yang mengandung nilai sejarah dan nilai seni yang tinggi, karya
seni ini dilelang bagi siapa saja yang ingin mengkoleksinya bisa menghubungi
Pelukis langsung.
Sunda Kelapa juga merupakan nama dari Jakarta sebelum tahun
1527.
Sunda Kelapa adalah nama sebuah pelabuhan dan tempat
sekitarnya di Jakarta, Indonesia. Pelabuhan ini terletak di kelurahan
Penjaringan, kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Meskipun sekarang Sunda Kelapa hanyalah nama salah satu
pelabuhan di Jakarta, daerah ini sangat penting karena desa di sekitar
pelabuhan Sunda Kelapa adalah cikal-bakal kota Jakarta yang hari jadinya
ditetapkan pada tanggal 22 Juni 1527. Kala itu Kalapa, nama aslinya, merupakan
pelabuhan kerajaan Pajajaran yang beribukota di Pakuan (sekarang kota Bogor)
yang direbut oleh pasukan Demak dan Cirebon. Sejarah Sunda Kelapa sudah dimulai
jauh lebih awal, yaitu pada zaman pendahulu Pajajaran, yaitu kerajaan Tarumanagara.
Kerajaan Tarumanagara pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya
dari Sumatera.
Pelabuhan Kalapa telah dikenal semenjak abad ke-12 dan kala
itu merupakan pelabuhan terpenting Pajajaran. Kemudian pada masa masuknya Islam
dan para penjajah Eropa, Kalapa diperebutkan antara kerajaan-kerajaan Nusantara
dan Eropa. Akhirnya Belanda berhasil menguasainya cukup lama sampai lebih dari
300 tahun. Para penakluk ini mengganti nama pelabuhan Kalapa dan daerah
sekitarnya. Namun pada awal tahun 1970-an, nama kuno Kalapa kembali digunakan
sebagai nama resmi pelabuhan tua ini dalam bentuk "Sunda Kelapa".
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, para penjelajah
Eropa mulai berlayar mengunjungi sudut-sudut dunia. Bangsa Portugis berlayar ke
Asia dan pada tahun 1511, mereka bahkan bisa merebut kota pelabuhan Malaka, di
Semenanjung Malaka. Malaka dijadikan basis untuk penjelajahan lebih lanjut di
Asia Tenggara dan Asia Timur.
Tome Pires, salah seorang penjelajah Portugis, mengunjungi
pelabuhan-pelabuhan di pantai utara Pulau Jawa antara tahun 1512 dan 1515. Ia
menggambarkan bahwa pelabuhan Sunda Kelapa ramai disinggahi pedagang-pedagang
dan pelaut dari luar seperti dari Sumatra, Malaka, Sulawesi Selatan, Jawa dan
Madura. Menurut laporan tersebut, di Sunda Kelapa banyak diperdagangkan lada,
beras, asam, hewan potong, emas, sayuran serta buah-buahan.
Laporan Portugis menjelaskan bahwa Sunda Kelapa terbujur
sepanjang satu atau dua kilometer di atas potongan-potongan tanah sempit yang
dibersihkan di kedua tepi sungai Ciliwung. Tempat ini ada di dekat muaranya
yang terletak di teluk yang terlindung oleh beberapa buah pulau. Sungainya
memungkinkan untuk dimasuki 10 kapal dagang yang masing-masing memiliki
kapasitas sekitar 100 ton. Kapal-kapal tersebut umumnya dimiliki oleh
orang-orang Melayu, Jepang dan Tionghoa. Di samping itu ada pula kapal-kapal
dari daerah yang sekarang disebut Indonesia Timur. Sementara itu kapal-kapal
Portugis dari tipe kecil yang memiliki kapasitas muat antara 500 - 1.000 ton
harus berlabuh di depan pantai. Tome Pires juga menyatakan bahwa barang-barang
komoditas dagang Sunda diangkut dengan lanchara, yaitu semacam kapal yang
muatannya sampai kurang lebih 150 ton.
Lalu pada tahun 1522 Gubernur Alfonso d'Albuquerque yang
berkedudukan di Malaka mengutus Henrique Leme untuk menghadiri undangan raja
Sunda untuk membangun benteng keamanan di Sunda Kalapa untuk melawan
orang-orang Cirebon yang bersifat ekspansif. Sementara itu kerajaan Demak sudah
menjadi pusat kekuatan politik Islam. Orang-orang Muslim ini pada awalnya
adalah pendatang dari Jawa dan merupakan orang-orang Jawa keturunan Arab.
Maka pada tanggal 21 Agustus 1522 dibuatlah suatu perjanjian
yang menyebutkan bahwa orang Portugis akan membuat loji (perkantoran dan
perumahan yang dilengkapi benteng) di Sunda Kelapa, sedangkan Sunda Kelapa akan
menerima barang-barang yang diperlukan. Raja Sunda akan memberikan kepada
orang-orang Portugis 1.000 keranjang lada sebagai tanda persahabatan. Sebuah
batu peringatan atau padraõ dibuat untuk memperingati peristiwa itu. Padrao
dimaksud disebut sebagai layang salaka domas dalam cerita rakya Sunda
Mundinglaya Dikusumah. Padraõ itu ditemukan kembali pada tahun 1918 di sudut
Prinsenstraat (Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (Jalan Nelayan Timur) di Jakarta.
Kerajaan Demak menganggap perjanjian persahabatan
Sunda-Portugal tersebut sebagai sebuah provokasi dan suatu ancaman baginya.
Lantas Demak menugaskan Fatahillah untuk mengusir Portugis sekaligus merebut
kota ini. Maka pada tanggal 22 Juni 1527, pasukan gabungan Demak-Cirebon di
bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) merebut Sunda Kelapa. Tragedi tanggal 22
Juni inilah yang hingga kini selalu dirayakan sebagai hari jadi kota Jakarta.
Sejak saat itu nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta. Nama ini biasanya
diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya
artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau
usaha" dari bahasa Sanskerta, jayakṛta.
Masa kolonialisme Belanda
Kekuasaan Demak di Jayakarta tidak berlangsung lama. Pada
akhir abad ke-16, bangsa Belanda mulai menjelajahi dunia dan mencari jalan ke
timur. Mereka menugaskan Cornelis de Houtman untuk berlayar ke daerah yang
sekarang disebut Indonesia. Eskspedisinya walaupun biayanya tinggi dianggap
berhasil dan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) didirikan. Dalam mencari
rempah-rempah di Asia Tenggara, mereka memerlukan basis pula. Maka dalam
perkembangan selanjutnya pada tanggal 30 Mei 1619, Jayakarta direbut Belanda di
bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen yang sekaligus memusnahkannya. Di atas
puing-puing Jayakarta didirikan sebuah kota baru. J.P. Coen pada awalnya ingin
menamai kota ini Nieuw Hoorn (Hoorn Baru), sesuai kota asalnya Hoorn di
Belanda, tetapi akhirnya dipilih nama Batavia. Nama ini adalah nama sebuah suku
Keltik yang pernah tinggal di wilayah negeri Belanda dewasa ini pada zaman
Romawi.
Menurut catatan sejarah, pelabuhan Sunda Kelapa pada masa
awal ini dibangun dengan kanal sepanjang 810 meter. Pada tahun 1817, pemerintah
Belanda memperbesarnya menjadi 1.825 meter. Setelah zaman kemerdekaan,
dilakukan rehabilitasi sehingga pelabuhan ini memiliki kanal sepanjang 3.250
meter yang dapat menampung 70 perahu layar dengan sistem susun sirih.
Sekitar tahun 1859, Sunda Kalapa sudah tidak seramai masa-masa
sebelumnya. Akibat pendangkalan, kapal-kapal tidak lagi dapat bersandar di
dekat pelabuhan sehingga barang-barang dari tengah laut harus diangkut dengan
perahu-perahu. Kota Batavia saat itu sebenarnya sedang mengalami percepatan dan
sentuhan modern (modernisasi), apalagi sejak dibukanya Terusan Suez pada 1869
yang mempersingkat jarak tempuh berkat kemampuan kapal-kapal uap yang lebih
laju meningkatkan arus pelayaran antar samudera. Selain itu Batavia juga
bersaing dengan Singapura yang dibangun Raffles sekitar tahun 1819.
Maka dibangunlah pelabuhan samudera Tanjung Priok, yang
jaraknya sekitar 15 km ke timur dari Sunda Kelapa untuk menggantikannya. Hampir
bersamaan dengan itu dibangun jalan kereta api pertama (1873) antara Batavia -
Buitenzorg (Bogor). Empat tahun sebelumnya (1869) muncul trem berkuda yang
ditarik empat ekor kuda, yang diberi besi di bagian mulutnya.
Selain itu pada pertengahan abad ke-19 seluruh kawasan
sekitar Menara Syahbandar yang ditinggali para elit Belanda dan Eropa menjadi
tidak sehat. Dan segera sesudah wilayah sekeliling Batavia bebas dari ancaman
binatang buas dan gerombolan budak pelarian, banyak orang Sunda Kalapa
berpindah ke wilayah selatan.
Pada masa pendudukan oleh bala tentara Dai Nippon yang mulai
pada tahun 1942, Batavia diubah namanya menjadi Jakarta. Setelah bala tentara
Dai Nippon keluar pada tahun 1945, nama ini tetap dipakai oleh Belanda yang
ingin menguasai kembali Indonesia. Kemudian pada masa Orde Baru, nama Sunda
Kelapa dipakai kembali. Pelabuhan ini juga biasa disebut Pasar Ikan karena di
situ terdapat pasar ikan yang besar.
Lukisan stok tersedia, Galeri kami melayani pemesanan dan pengiriman lukisan ke seluruh Indonesia, gratis ongkos kirim.
Informasi dan pembel;ian:
Email: javadesdino@gmail.com
Telp - Whatsapp: 081329732911
Judul: Pelabuhan sunda kelapa 1839
Media: Cat Acrylic diatas kanvas | 71cm x 113cm
Harga: Rp.6.700.000;
Judul: Sudut kota Batavia 1866
Media: Cat Acrylic diatas kanvas | Ukuran: 71cm x 112 cm
Harga: Rp.6.800.000;