Eko Nugroho sedang berkarya
Kertap lampu kamera berkilatan saat kain lebar dibentangkan.
Motif kain mirip batik itu digenggam empat patung perempuan. Sore itu, 23 Juni
2013, kain berwarna dasar hijau tersebut sungguh menyedot perhatian pengunjung
butik Louis Vuitton (LV) Plaza Indonesia.
Butik fesyen yang sohor itu tengah meluncurkan produk baru:
scarf limited edition. Di Jakarta, duplikatnya dibuat dalam bentangan kain
besar. Sontak kain itu menarik perhatian, dan membuat produk LV lain berharga
puluhan juta seperti enggan dilirik orang.
Tapi ada lagi yang membuat peluncuran ini menjadi begitu
penting: motif scarf itu adalah karya
seorang seniman asal Yogyakarta. Ia bernama Eko Nugroho.
Senyum Eko tak berhenti mengembang sepanjang acara
peluncuran. Ia menyapa setiap tamu. Ia juga telaten menjawab penasaran orang
terhadap karyanya itu. Pada VIVAlife,
lelaki berkulit cokelat itu bercerita tentang pinangan LV, dan
perjalanan seninya.
Republik Tropis
Sebenarnya, ini bukan kali pertama Eko bekerja sama dengan
LV, merek fesyen yang lahir dari tangan dingin seorang desainer Perancis Louis
Vuitton. Pada 2009 ia sempat mengikuti pameran transfigurasi seni Indonesia di
Paris yang digawangi oleh merek prestisius ini.
Lalu pada 2012, ia berpameran tunggal di Musee d’Art Moderne
Paris bertajuk Temoin Hybride. Di situlah, karyanya mulai diamati lebih jauh
oleh LV. Hingga akhirnya, Januari lalu LV menghubunginya via telepon, dan
menawarkannya merancang motif sebuah scarf untuk koleksi Fall/Winter 2013-2014.
Memang Eko tak lah sendirian. Ada dua seniman lain yang
dipilih LV untuk proyek besar itu, El Seed dari Tunisia dan Eine dari Inggris.
Keduanya merupakan seniman grafiti.
Louis Vuitton x Eko Nugroho
Ki-ka: Karya El Seed, Eko Nugroho, Eine.
Oleh LV mereka diberi kemerdekaan berkarya. Tak ada aturan
baku ataupun permintaan khusus soal motif. Cocok dengan jiwa para seniman yang
menyukai kebebasan. Eko pun bersemangat menggarapnya.
Dalam enam bulan ia menghasilkan enam lukisan bertema sama.
Indonesia. "Saya banyak menggabungkan elemen di sekitar saya, dan budaya
saya," ujar lelaki kelahiran 1977 ini.
Selesai enam lukisan, ia melakukan kopi darat dengan pihak
LV di salah satu butik di Hongkong. Di sana, Eko mempresentasikan karyanya.
Satu yang berhasil memikat hati LV, yakni lukisan bertema 'Republik Tropis'.
Menurut pihak LV,
melalui Public Relation-nya di Indonesia Cicilia King, desain itu terpilih
karena dirasa paling kuat menggambarkan unsur personal dan kekayaan budaya
Indonesia.
Dalam lukisan itu, lelaki yang kini sedang mengikuti pameran
di Orange Country Museum of Art California ini menggambarkan motif batik dengan
menggabungkan keragaman hayati Indonesia, menyisipkan isu sosial lewat gambar
karang dan kaki binatang, mereduksi siluet Candi Borobudur, gunungan dalam
pewayangan Jawa, plus dua motif topeng.
Motif batik, bagi Eko, adalah gambaran identitas bangsa
Indonesia. Baginya batik adalah harta katun yang diturunkan bagi kaum kreatif,
yang bertugas mengeksplorasi ulang dengan memadukan unsur kekinian.
"Inilah Republik Tropis. Indonesia yang kaya warna,
budaya dan tradisi. Simbiolisasi modern untuk saya," ujar Eko.
Karya Eko Nugroho
Lukisannya itu pun
meluncur ke Italia sebagai master dalam pembuatan scarf. Dalam lima bulan, lima
ratus scarf yang dibandrol dengan harga 905$, atau setara Rp9 juta itu selesai
diproduksi.
Awalnya dia diminta ke Italia untuk melihat langsung proses
pembuatan scarf itu. Tapi, Eko tak bisa berangkat. Dia punya agenda lain,
menyiapkan pameran tunggal.
LV pun lalu mengirimkan hasil jadi scarf itu ke Yogyakarta
untuk diperiksa kembali oleh Eko. "Hasil yang mereka kirim sangat
fantastis. Jadi saya langsung menyetujuinya saat itu," ujar lelaki
berambut panjang ini.
Juni lalu, ia baru benar-benar puas. Sehelai scarf berbahan
sutera, bertulis Louis Vuitton di salah satu sudutnya, dikirim ke kediamannya
di Yogyakarta. Scarf itu menjadi tanda ia sudah melahirkan karya baru lagi. Soal upah yang diberikan LV, perupa yang pernah mengadakan
pameran tunggal Threat As a Flavour di Arndt, Berlin, ini enggan menjawabnya.
Ia hanya mengatakan kesempatan ini adalah sesuatu tak ternilai harganya.
Mendarah Daging
Eko kerap menilai karya seni yang dihasilkan dengan ungkapan
"tak ternilai harganya". Ia memang mencintai seni sejak kecil. Di
rumahnya, di kampung padat di Ledok Prawirodirjan, di tepi Kali Code, Eko kecil
suka mencoret dinding rumahnya dengan aneka gambar. Orang tuanya pun melihat
bakat seni dari anak lelakinya itu. Mereka lalu menuntunnya ke dunia kesenian.
Di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) Eko sudah
menghasilkan komik. Karya komik pertamanya dibuat pada 1996, berjudul Korek.
"Korek ini bukan sekedar judul, melainkan bentuk komik yang memang sebesar
korek. Bahkan dijualnya pun di dalam kotak korek api," ujarnya.
Menyusul Korek, Eko membuat komik The Konyol ,The WC, The
Kondom, dan Fight Me.
Kegandrungannya pada seni lukis membuatnya masuk ke Sekolah
Menengah Seni Rupa (SMSR), dan lalu mempertajam ilmunya di Institut Seni
Indonesia (ISI) Yogyakarta. Di situ lah ia jatuh cinta pada seni visual.
"Visualisasi itu sangat memengaruhi saya dibanding tulisan," ujarnya.
Dengan visualisasi, kata Eko, ia bisa menggambarkan apa yang tidak bisa
diungkapkan kata-kata.
Ia lalu menjajal berbagai medium. Mulai dari lukisan batik,
seni bordir, mural, animasi, fotografi, hingga patung. Baginya tak ada
kesulitan saat harus melompat, atau berganti dari satu medium ke medium lain.
"Semuanya saya lakukan atas dasar suka dan cinta, jadi
tidak ada kesulitan yang berarti," ujar lelaki yang juga mengaku cinta
mati pada kota Yogyakarta itu.
Sambil kuliah, Eko tetap berkarya. Dia meloncat dari satu
pameran ke pameran lain. Tak hanya kelas lokal tapi juga internasional. Ada
sekitar dua puluh pameran internasional yang sudah diikutinya. Antara lain di
Singapura, Malaysia, Taiwan, Jepang, Australia, Jerman, dan Belanda.
Dalam setiap karyanya itu, ia seperti hendak mengabarkan
Indonesia kepada dunia luar dengan caranya sendiri.
Yang menarik, tradisi tak lagi terasa sebagai sesuatu yang
tradisional di tangan Eko. Ia mengolah seni dengan unsur pop. "Persepsi seperti itu biasanya
dicetuskan orang yang melihat karya saya. Tapi saya tidak mengkhususkan diri
pada genre tertentu," ujarnya.
Karyanya juga sarat dengan isu sosial. Ia menganggapnya
sebagai ungkapan kejujuran. "Isu sosial yang saya angkat bukan persoalan
fantasi, tetapi kenyataan yang saya dan kita alami semua disini. Bagi saya,
seniman adalah bagian dari masyarakat, dan masyarakat beserta dinamikanya
adalah inspirasi terbesar saya dalam berkarya," ujarnya.
Daging Tumbuh
Berhasil "menaklukkan" panggung global, Eko juga
menggandeng seniman lain dengan membuat galeri bergerak bernama Daging Tumbuh.
Galeri itu adalah sebuah komik, yang terbit setiap enam bulan sekali.
"Sampai saat ini sudah lebih dari 300 seniman yang
mengirimkan karyanya. Daging Tumbuh keanggotaannya sangat cair, siapapun boleh
bergabung dan terlibat dalam aktivitas. Saling berbagi ilmu lewat workshop, pop
up shop, diskusi, dan pameran."
Eko menggagasnya sejak tahun 2000. Ia juga mengedarkan
galeri itu secara underground. Tak hanya komik, tapi juga proyek lain seperti
DGTMB Design and Merchandise yang memproduksi pernak-pernik Daging Tumbuh dalam
jumlah terbatas.
Selain itu juga Project Postcard Revolution, yakni pameran
karya di atas kartu pos yang sampai saat ini diikuti oleh kurang lebih 550
seniman. Pameran itu digelar di Yogyakarta, Jakarta, dan Singapura. Seperti
nama galeri itu, Eko yakin seniman Indonesia akan terus bertumbuh.
Dan ada satu hal penting lain: ia yakin Indonesia punya
orang-orang dengan bakat seni menakjubkan.