8.19.2013

>> EKO NUGROHO, SENIMAN JOGJA DIBALIK BUTIK FASHION KELAS DUNIA "LOUIS VUITTON"


Eko Nugroho sedang berkarya

Kertap lampu kamera berkilatan saat kain lebar dibentangkan. Motif kain mirip batik itu digenggam empat patung perempuan. Sore itu, 23 Juni 2013, kain berwarna dasar hijau tersebut sungguh menyedot perhatian pengunjung butik Louis Vuitton (LV) Plaza Indonesia.
Butik fesyen yang sohor itu tengah meluncurkan produk baru: scarf limited edition. Di Jakarta, duplikatnya dibuat dalam bentangan kain besar. Sontak kain itu menarik perhatian, dan membuat produk LV lain berharga puluhan juta seperti enggan dilirik orang.

Tapi ada lagi yang membuat peluncuran ini menjadi begitu penting: motif scarf  itu adalah karya seorang seniman asal Yogyakarta. Ia bernama Eko Nugroho.
Senyum Eko tak berhenti mengembang sepanjang acara peluncuran. Ia menyapa setiap tamu. Ia juga telaten menjawab penasaran orang terhadap karyanya itu. Pada VIVAlife,  lelaki berkulit cokelat itu bercerita tentang pinangan LV, dan perjalanan seninya.

Republik Tropis
Sebenarnya, ini bukan kali pertama Eko bekerja sama dengan LV, merek fesyen yang lahir dari tangan dingin seorang desainer Perancis Louis Vuitton. Pada 2009 ia sempat mengikuti pameran transfigurasi seni Indonesia di Paris yang digawangi oleh merek prestisius ini.

Lalu pada 2012, ia berpameran tunggal di Musee d’Art Moderne Paris bertajuk Temoin Hybride. Di situlah, karyanya mulai diamati lebih jauh oleh LV. Hingga akhirnya, Januari lalu LV menghubunginya via telepon, dan menawarkannya merancang motif sebuah scarf untuk koleksi Fall/Winter 2013-2014.
Memang Eko tak lah sendirian. Ada dua seniman lain yang dipilih LV untuk proyek besar itu, El Seed dari Tunisia dan Eine dari Inggris. Keduanya merupakan seniman grafiti.
Louis Vuitton x Eko Nugroho


Ki-ka: Karya El Seed, Eko Nugroho, Eine.

Oleh LV mereka diberi kemerdekaan berkarya. Tak ada aturan baku ataupun permintaan khusus soal motif. Cocok dengan jiwa para seniman yang menyukai kebebasan. Eko pun bersemangat menggarapnya.

Dalam enam bulan ia menghasilkan enam lukisan bertema sama. Indonesia. "Saya banyak menggabungkan elemen di sekitar saya, dan budaya saya," ujar lelaki kelahiran 1977 ini.
Selesai enam lukisan, ia melakukan kopi darat dengan pihak LV di salah satu butik di Hongkong. Di sana, Eko mempresentasikan karyanya. Satu yang berhasil memikat hati LV, yakni lukisan bertema 'Republik Tropis'.
 Menurut pihak LV, melalui Public Relation-nya di Indonesia Cicilia King, desain itu terpilih karena dirasa paling kuat menggambarkan unsur personal dan kekayaan budaya Indonesia.

Dalam lukisan itu, lelaki yang kini sedang mengikuti pameran di Orange Country Museum of Art California ini menggambarkan motif batik dengan menggabungkan keragaman hayati Indonesia, menyisipkan isu sosial lewat gambar karang dan kaki binatang, mereduksi siluet Candi Borobudur, gunungan dalam pewayangan Jawa, plus dua motif topeng.
Motif batik, bagi Eko, adalah gambaran identitas bangsa Indonesia. Baginya batik adalah harta katun yang diturunkan bagi kaum kreatif, yang bertugas mengeksplorasi ulang dengan memadukan unsur kekinian.
"Inilah Republik Tropis. Indonesia yang kaya warna, budaya dan tradisi. Simbiolisasi modern untuk saya," ujar Eko.


Karya Eko Nugroho

Lukisannya  itu pun meluncur ke Italia sebagai master dalam pembuatan scarf. Dalam lima bulan, lima ratus scarf yang dibandrol dengan harga 905$, atau setara Rp9 juta itu selesai diproduksi.
Awalnya dia diminta ke Italia untuk melihat langsung proses pembuatan scarf itu. Tapi, Eko tak bisa berangkat. Dia punya agenda lain, menyiapkan pameran tunggal.

LV pun lalu mengirimkan hasil jadi scarf itu ke Yogyakarta untuk diperiksa kembali oleh Eko. "Hasil yang mereka kirim sangat fantastis. Jadi saya langsung menyetujuinya saat itu," ujar lelaki berambut panjang ini.
Juni lalu, ia baru benar-benar puas. Sehelai scarf berbahan sutera, bertulis Louis Vuitton di salah satu sudutnya, dikirim ke kediamannya di Yogyakarta. Scarf itu menjadi tanda ia sudah melahirkan karya baru lagi. Soal upah yang diberikan LV, perupa yang pernah mengadakan pameran tunggal Threat As a Flavour di Arndt, Berlin, ini enggan menjawabnya. Ia hanya mengatakan kesempatan ini adalah sesuatu tak ternilai harganya.

Mendarah Daging
Eko kerap menilai karya seni yang dihasilkan dengan ungkapan "tak ternilai harganya". Ia memang mencintai seni sejak kecil. Di rumahnya, di kampung padat di Ledok Prawirodirjan, di tepi Kali Code, Eko kecil suka mencoret dinding rumahnya dengan aneka gambar. Orang tuanya pun melihat bakat seni dari anak lelakinya itu. Mereka lalu menuntunnya ke dunia kesenian.
Di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) Eko sudah menghasilkan komik. Karya komik pertamanya dibuat pada 1996, berjudul Korek. "Korek ini bukan sekedar judul, melainkan bentuk komik yang memang sebesar korek. Bahkan dijualnya pun di dalam kotak korek api," ujarnya.

Menyusul Korek, Eko membuat komik The Konyol ,The WC, The Kondom, dan Fight Me.
Kegandrungannya pada seni lukis membuatnya masuk ke Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR), dan lalu mempertajam ilmunya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Di situ lah ia jatuh cinta pada seni visual. "Visualisasi itu sangat memengaruhi saya dibanding tulisan," ujarnya. Dengan visualisasi, kata Eko, ia bisa menggambarkan apa yang tidak bisa diungkapkan kata-kata.

Ia lalu menjajal berbagai medium. Mulai dari lukisan batik, seni bordir, mural, animasi, fotografi, hingga patung. Baginya tak ada kesulitan saat harus melompat, atau berganti dari satu medium ke medium lain.
"Semuanya saya lakukan atas dasar suka dan cinta, jadi tidak ada kesulitan yang berarti," ujar lelaki yang juga mengaku cinta mati pada kota Yogyakarta itu.

Sambil kuliah, Eko tetap berkarya. Dia meloncat dari satu pameran ke pameran lain. Tak hanya kelas lokal tapi juga internasional. Ada sekitar dua puluh pameran internasional yang sudah diikutinya. Antara lain di Singapura, Malaysia, Taiwan, Jepang, Australia, Jerman, dan Belanda. 
Dalam setiap karyanya itu, ia seperti hendak mengabarkan Indonesia kepada dunia luar dengan caranya sendiri.

Yang menarik, tradisi tak lagi terasa sebagai sesuatu yang tradisional di tangan Eko. Ia mengolah seni dengan unsur  pop. "Persepsi seperti itu biasanya dicetuskan orang yang melihat karya saya. Tapi saya tidak mengkhususkan diri pada genre tertentu," ujarnya.
Karyanya juga sarat dengan isu sosial. Ia menganggapnya sebagai ungkapan kejujuran. "Isu sosial yang saya angkat bukan persoalan fantasi, tetapi kenyataan yang saya dan kita alami semua disini. Bagi saya, seniman adalah bagian dari masyarakat, dan masyarakat beserta dinamikanya adalah inspirasi terbesar saya dalam berkarya," ujarnya.

Daging Tumbuh
Berhasil "menaklukkan" panggung global, Eko juga menggandeng seniman lain dengan membuat galeri bergerak bernama Daging Tumbuh. Galeri itu adalah sebuah komik, yang terbit setiap enam bulan sekali.
"Sampai saat ini sudah lebih dari 300 seniman yang mengirimkan karyanya. Daging Tumbuh keanggotaannya sangat cair, siapapun boleh bergabung dan terlibat dalam aktivitas. Saling berbagi ilmu lewat workshop, pop up shop, diskusi, dan pameran."
Eko menggagasnya sejak tahun 2000. Ia juga mengedarkan galeri itu secara underground. Tak hanya komik, tapi juga proyek lain seperti DGTMB Design and Merchandise yang memproduksi pernak-pernik Daging Tumbuh dalam jumlah terbatas.

Selain itu juga Project Postcard Revolution, yakni pameran karya di atas kartu pos yang sampai saat ini diikuti oleh kurang lebih 550 seniman. Pameran itu digelar di Yogyakarta, Jakarta, dan Singapura. Seperti nama galeri itu, Eko yakin seniman Indonesia akan terus bertumbuh.
Dan ada satu hal penting lain: ia yakin Indonesia punya orang-orang dengan bakat seni menakjubkan.






No comments:

Post a Comment